Najib Gunawan |
Opini
Oleh: Najib Gunawan
Barisan Panitia Pemekaran Kabupaten Kubu (Darussalam dan Rokan) dan Rokan Tengah kian memantapkan diri untuk lepas dari kabupaten induk Rokan Hilir.
Kedua panitia pun telah pula menggelar rapat koordinasi bersama tokoh masyarakat, Anggota DPRD Rohil, termasuk para Datuk Penghulu hingga menghasilkan rencana Musyawarah Besar (Mubes).
Puluhan tokoh masyarakat dari tujuh kecamatan, seperti Kubu, Kubu Babus Salam, Pasir Limau Kapas, Simpang Kanan, Bagan Sinembah, Bagan Sinembah Raya dan Kecamatan Balai Jaya, Minggu (17/04) di Aula Pondok Al Quran Al Majidiyah, Bagan Batu, Kecamatan Bagan Sinembah, sepakat menggelar Mubes di Kecamatan Kubu, 25 Mei mendatang.
Tak mau ketinggalan, rencana sama keluar dari Kabupaten Rohil juga dihasilkan setelah para tokoh dan anggota DPRD dari Daerah Pemilihan (Dapil) 3 rapat koordinasi di Hotel Bit, Ujung Tanjung, Kecamatan Tanah Putih. Panitia Pemekaran Kabupaten Rokan Tengah (Roteng) yang terdiri dari Kecamatan Tanah Putih, Pujud, Tanjung Medan, Tanah Putih Tanjung Melawan dan Rantau Kopar malah lebih cepat menggelar pada 7 Mei mendatang.
Pemekaran wilayah, baik kecamatan, kabupaten, kota hingga provinsi tak jarang kurang memperhatikan kemampuan daerah calon yang akan dimekarkan. Semestinya, pemekaran wilayah mengutamakan faktor kemampuan daerah karena menyangkut pelayanan publik ketimbang nafsu sesaat yang ujungnya bernasib malah menyengsarakan masyarakat.
Berdasarkan data Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri, banyak daerah pemekaran yang muncul di era desentralisasi gagal mengangkat perekonomian masyarakat lokal. Seharusnya, daerah pemekaran rentang 5 tahun gagal mencapai tujuan pemekaran wajib balik ke kabupaten dan provinsi induk.
Tetapi, tidak mudah mengembalikan daerah pemekaran yang gagal ke daerah induk karena banyak faktor. Bahkan, mantan Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri, Djohermansyah Djohan yang juga pernah sebagai Penjabat (Pj) Gubernur Riau menyatakan disejumlah media, berdasarkan evaluasi Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) terhadap 57 daerah pemekaran baru sejak 1999-2010, sebanyak 78 persen gagal menyejahterakan warga dan enggan kembali daerah induk.
Hal itu disebakan elite politik lokal ngotot tetap bertahan pada daerah hasil pemekaran karena rentang waktu 5 tahun baru memulai membangun sarana dan prasarana pemerintahan. seyogyanya, kabupaten/kota dan provinsi seyogyanya balik kampung jika merantau ke daerah pemekaran tak menghasilkan apa-apa.
Kegagalan daerah hasil pemekaran lebih karena faktor tidak memiliki kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM) dan Sumber Daya Alam (SDA) untuk mengembangkan, memajukan, dan menyejahterahkan masyarakatnya. Lalu, pertanyaannya pemekaran wilayah untuk si(apa)?
Apalagi, tak dapat dipungkiri pemekaran terkadang lebih tinggi unsur politiknya dari pada unsur kondisi obyektifitas daerah. Untuk itu, para tokoh sebaiknya melibatkan auditor independen dan akademisi yang kapabel sebelum bernafsu keluar dari daerah induk sebelum semuanya dipersiapkan dengan matang.
Jangan sampai, pemekaran wilayah baru justru bertolak belakang dengan peningkatan dan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing daerah. Karena, sebagian besar daerah otonom baru, pertumbuhan kesejahteraan justru cenderung menurun, pelayanan publik jalan di tempat, daya saing daerah pun ibarat mati suri.
Tentunya, kita tidak ingin pemekaran daerah lebih condong karena nafsu sesaat atas sikap orang tertentu. Karena, di Indonesia sudah bukan rahasia lagi usulan pemekaran daerah berasal dari legislatif dan kepala daerah untuk memenuhi janji politiknya semasa kampanye. Pemekaran daerah belakangan cenderung dipolitisir.
Memang, sampai 2025, terbuka peluang untuk melakukan pemekaran daerah baru sebanyak enam provinsi lagi. Tentunya, kabupaten/kota di Indonesia berlomba-lomba memekarkan wilayahnya, syukur-syukur melahirkan provinsi baru.
Tetapi, harus penuh kehati-hatian. Karena pemekaran daerah harus pula menimbang dampak negatif yang dapat ditimbulkannya, baik sosial, ekonomi, dan keuangan sebagai garansi kesejahteraan masyarakat dan kepentingan nasional.
Meski banyak pakar Otonomi Daerah tidak sependapat pemekaran daerah diganjal.
Tetapi, tidak tepat apabila daerah baru mengalami kelemahan kekuatan keuangan daerah dalam mendanai penyelenggaraan pemerintah. Untuk itu, pemekaran daerah harus lepas dari kepentingan politik dan harus lahir dari rahim masyarakat.
Dalam bahasa politik, pemekaran daerah dapat membuka lapangan pekerjaan, kemajuan daerah, peningkatan ekonomi kerakyatan.
Tetapi, di lapangan justru membuka lapangan pekerjaan bagi politisi yang ingin duduk di kursi empuk legislator, dan ruang jabatan baru lain seperti kepala daerah yang membawa gerbong eksekutif. Ujungnya, justru masyarakat tertinggalkan di era otonomi daerah saat ini. Sekali lagi, Pemekaran Daerah untuk Si(Apa)? (***)