Bersama beberapa petani kelapa sawit di Paket C, Kepenghuluan Pelita, Bagan Sinembah saat melihat ke lokasi. |
Inforohil.com, Bagan Sinembah – Sebagian petani sawit di Kepenghuluan Pelita Kecamatan Bagan Sinembah Kabupaten Rokan Hilir menyesalkan sistem pengelolaan program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) atau Replanting di Kepenghuluan Pelita Kecamatan Bagan Sinembah, Rohil yang diresmikan Presiden Jokowi pada Mei lalu.
Pasalnya, bibit sawit yang ditanam banyak yang mengering dan rusak, sehingga para petani sangat mengkhawatirkan hasil produksinya saat waktu panen tiba.
“Memang, ada penjelasan ketika dilakukan pertemuan dengan pihak Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS), bahwa bibit yang ditanam merupakan usia muda, dan jika ada yang mati atau rusak akan diganti, tetapi ini dapat merugikan kami dari segi waktu,” ungkap DJ yang ditemui beberapa awak media Kamis (16/8) petang di lokasi.
Dijelaskannya, jika terjadi penggantian bibit berulang ulang, yang seharusnya 4 tahun sudah mulai menghasilkan bisa jadi nanti 5 atau 6 tahun baru mulai produksi. Tentu hal ini sangat merugikan petani.
“Kalau 5 tahun baru panen, mau makan apa kami sebelum itu,” keluhnya.
Ditambahkan DJ, pada penanaman bibit juga tidak ada proses penyiraman. Ironisnya, ia terpaksa menyiram sendiri tanaman sawit di kavlingannya. “Tidak ada penyiraman waktu ditanam, kalau saya pribadi menyiram sendiri,” tukasnya.
Di tempat yang sama, petani lainnya, Su juga mengaku kecewa dengan bibit sawit yang ditanam oleh perusahaan pengelola.
“Kalau masalah mereka tidak dapat menyediakan bibit layak tanam, untuk apa disegerakan ditumbang, dan itukan tanggung jawab mereka. Nah, kalau begitu, bibit pada waktu yang ditanam Presiden kok bagus, giliran punya kami yang saat ini kok nggak bagus,” terangnya.
Petani lainnya, EP juga mengeluhkan sistem perawatan terhadap sawit dan lahan mereka. “Masih banyak sawit yang belum di bokor, kita khawatir nanti lebih tinggi semak dari pohonnya, inikan dapat merusak pertumbuhan dari sawitnya, jelas kalau begini kami yang rugi,” kesalnya.
Para petani juga sangat khawatir dengan perusahaan yang mengelola peremajaan itu, sebab, sistem pengelolaannya sangat jauh dari kata layak.
“Kalau kita bandingkan dengan yang ditanam sendiri, hasilnya sangat jauh berbeda, lebih bagus hasil yang ditanam sendiri dari pada hasil yang dikerjakan perusahaan ini, kayaknya ini bukan perusahaan yang ahli di bidang perkebunan sawit, soalnya nggak ada bagus-bagusnya,” ungkap mereka.
Terkait keluhan dari para petani itu, hingga kini, awak media belum mengetahui perusahaan apa dan berkantor di mana perusahaan yang menangani peremajaan sawit rakyat ini.
Parahnya, para petani yang ditemui juga tidak mengetahui. “Kami nggak tau entah apa nama perusahaannya, di mana perusahaannya juga kami nggak tau, mau kompalain pun kami nggak tau ke mana, soalnya ini semua adalah tanggungjawab perusahaan yang mengelola,” ungkap para Petani.
Sebelumnya, awak media telah melakukan pemantauan pada Rabu (15/8), tak jauh dari lokasi yang menjadi pusat kunjungan Presiden RI Joko Widodo pada program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR), bibit kelapa sawit yang ditanamkan tampak kurang usia tanam, bahkan banyak bibit yang kering kerontang dan nyaris mati.
Dan pada label yang disematkan di pohon sawit tersebut, bibit sawit tersebut merupakan bibit bersertifikat yang berasal dari Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) cabang Dalu-dalu Desa Sei Kumango Kecamatan Tambusai Kabupaten Rokan Hulu (Rohul).
Yang mana pada label tersebut, bernomor SMB/tanggal: 525.25/stf-KS/UPT-PS Bun/DinasTph.bun/01/12 Januari 2018. Dimana, varietas atau sumber benih: D x P (YA dan SMB) dan masa berlaku Agustus 2018.
Jika berdasarkan label Sertifikat itu, maka diperkirakan bibit yang ditanam berusia 6 bulan ke bawah. Berbeda dengan bibit sawit saat ditanam oleh Presiden Jokowi. Dimana, saat penanaman yang dilakukan oleh Jokowi itu batang bibit sawit tampak cukup besar dan ditaksir sudah sesuai usia tanam dengan perkiraan berusia 10 hingga 12 bulan.
Tidak hanya sampai di situ, dari kondisi beberapa tanaman, jelas terlihat sangat jauh dari perawatan, sebab, rumput yang tumbuh nyaris setinggi bibit sawit yang ditanam, bahkan daun bibit sawit juga menguning, persis seperti kekukurangan air.
Yang mana pada program replanting tersebut, pemerintah pusat menggelontorkan dana bantuan senilai Rp 50 juta perkavling (2 Hektar). Tentu saja dikhawatirkan, dana tersebut menjadi ajang korupsi berjamaah, sebab kondisi saat ini di lokasi, tanaman sawit tersebut kurang perawatan, sehingga dapat mempengaruhi produksinya saat sawit itu nantinya mulai menghasilkan. (tim/iloeng)
Jangan Lupa Tinggalkan Komentar dan Share Artikel Ini. Tks